PSE riset group siap lakukan scale up pabrik biodiesel
26 June 2012
Saat ini Indonesia telah mampu memproduksi bahan bakar yang bersumber dari energi terbarukan. Biodiesel misalnya, dibeberapa daerah telah berdiri pabrik yang dirancang, dibuat dan dioperasikan oleh putera-putera bangsa Indonesia. Demikian disampaikan oleh Prof. Arief Budiman saat menjadi plenary speaker pada The 2nd Korean-Indonesian Workshop and International Symposium on Bioenergy from Biomass yang diadakan di Gedung DRN, Puspiptek, Sertpong belum lama ini (13/6/2012).
Ditambahkan oleh Arief bahwa peneliti-peneliti yang tergabung dalam Process System Engineering research group, UGM telah berhasil mengembangkan teknologi proses pembuatan biodiesel. Teknologi yang dipakai saat ini masih merupakan teknologi konvensional. Proses dijalankan secara batch dalam reaktor tangki berpengaduk selama 2-3 jam. Setelah diendapkan sekitar 10 jam, barulah biodiesel dapat dipisahkan dari produk sampingnya yang berupa gliserol.
“Proses pembuatan biodiesel pada teknologi yang kami kembangkan berlangsung secara kontinyu. Sehingga memungkinkan melakukan proses produksi secara terus menerus. Uji coba pada skala menengah (150 liter/hari) sudah berhasil kami lakukan. Bahkan perhitungan untuk menaikkan kapasitas (scale up), juga sudah kami jalankan”, beber Arief.
Setidaknya ada tiga keuntungan dari teknologi yang dikembangkannya. Beaya investasi akan berkurang karena tidak perlu ada reaktor. Disamping itu juga akan terjadi pengurangan beaya operasi karena proses dijalankan secara kontinyu. Dan dari sisi peralatan, akan menjadi lebih kompak karena reaktor dan alat pemisahan yang biasanya terpisah, menjadi hanya satu unit operasi, imbuh Arief
Diakui oleh Arief bahwa bisnis biodiesel di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala. Diantaranya, masih mahalnya harga bahan baku untuk biodiesel jika dibandingkan dengan harga solar resmi yang hanya dipatok Rp 4.500 per liter. Jika biodiesel dibuat dari CPO yang harga per kg-nya pada kisaran Rp 8.000an, tentu saja tidak akan ekonomis kalau harus dijual sama dengan harga solar. Sehubungan dengan itu, Arief menambahkan bahwa perlu dicari alternatif bahan baku yang harganya murah dan kontinuitas pasokan harus terjaga. Salah satu alternatif bahan yang bisa digunakan adalah kemiri sunan, pungkasnya.